“Gender”
Makalah
Disusun
untuk memenuhi mata kuliah Kewarganegaraan
Dosen
pengampu :
Dr.
H. Muhyiddin Zainul Arifin, SH, SE, M.M.
Oleh
Kelompok:
M.
Fikri Rofiudin (TI)
Program studi Teknik Informatika
Fakultas Teknologi Informasi
Universitas KH. A. Wahab Hasbullah
Jombang
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahnya,
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah “Kewarganegaraan” yang
berjudul “Gender” dan menjadi salah satu tugas dari mata kuliah Kewarganegaraan ini dengan
baik dan lancar.
Penyusunan
makalah tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh
sebab itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati kami ingin mengucapkan
terima kasih kepada:
1.
Bapak Dr. H. Muhyiddin Zainul Arifin, SH,
SE, M.M. selaku
dosen pengampu mata kuliah Sistem
penunjang keputusan.
2.
Teman – teman yang membantu dan mendorong serta
memberikan informasi yang sangat diperlukan dalam penyusunan makalah ini.
Kami sebagai
penyusun makalah ini menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan di masa yang akan datang. Akhir
kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi kami selaku penyusun dan penulis
makalah ini pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya sebagai referensi
tambahan di bidang ilmu Pengantar
Manajemen.
Jombang, 30
September 2015
Kelompok,
Daftar
Isi
i.
Kata Pengantar
...................................................................................................i
ii.
Daftar Isi ............................................................................................................ii
BAB
I PENDAHULUAN ............................................................................................1
1.
Latar Belakang ...................................................................................................1
2.
Rumusan Masalah
..............................................................................................1
3.
Tujuan
................................................................................................................1
BAB
II PEMBAHASAN .............................................................................................2
A.
Pengertian Gender .............................................................................................2
B.
Problematika Gender dalam Pendidikan
...........................................................2
C.
Pendidikan Memandang Gender
.......................................................................3
D. Membangun
Pendidikan Berperspektif Gender di Sekolah ..............................4
E.
Menuju Kesetaraan Gender dalam Pendidikan .................................................6
BAB
III PENUTUP .....................................................................................................7
1.
Kesimpulan
........................................................................................................7
2.
Saran ..................................................................................................................7
DAFTAR
PUSTAKA ..................................................................................................8
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Studi – studi tentang gender saat ini melihat bahwa
ketimpangan gender terjadi akibat rendahnya kualitas
sumberdaya kaum perempuan sendiri, dan hal
tersebut mengakibatkan ketidakmampuan mereka bersaing dengan kaum lelaki. Oleh
karena itu upaya-upaya yang dilakukan adalah mendidik kaum perempuan dan
mengajak mereka berperan serta dalam
pembangunan. Namun kenyataannya proyek-proyek
peningkatan peran serta perempuan agak salah arah
dan justru mengakibatkan beban yang berganda-ganda bagi perempuan tanpa
hasil yang memang menguatkan kedudukan perempuan sendiri.
Dalam realitas yang kita jumpai pada masyarakat tertentu terdapat adat
kebiasaan yang tidak mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan perempuan dalam
pendidikan formal. Bahkan adaa nilai yang mengemukakan bahwa “perempuan tidak
perlu sekolah tinggi-tinggi karena akhirnya ke dapur juga.”Ada pula anggapan seorang gadis
harus cepat-cepat menikah agar tidak menjadi perawan tua. Paradigma seperti
inilah yang menjadikan para perempuan menjadi terpuruk dan dianggap rendah kaum
laki-laki.
2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah problematika gender dalam pendidikan?
2.
Bagaimanakah
pendidikan memandang gender?
3.
Bagaimanakah membangun pendidikan berperspektif
gender di sekolah?
4.
Bagaimanakah strategi menuju kesetaraan gender dalam
pendidikan?
3.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui problematika gender dalam pendidikan
2.
Untuk mengetahui pendidikan memandang gender
3.
Untuk mengetahui cara membangun pendidikan
berperspektif gender di sekolah
4.
Untuk mengetahui strategi menuju kesetaraan
gender dalam pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gender
Gender adalah perbedaan yang
tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah
laku. Gender merupakan suatu
istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan secara sosial. Gender adalah kelompok atribut dan perilaku secara
kultural yang ada pada laki-laki dan perempuan.
Gender merupakan konsep hubungan
sosial yang membedakan (memilahkan atau memisahkan) fungsi dan peran
antara perempuan dan lak-laki. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan
perempuan itu tidak ditentukan karena keduanya terdapat perbedaan biologis atau
kodrat, melainkan dibedakan menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing
dalam berbagai kehidupan dan pembangunan.
Dengan demikian gender sebagai
suatu konsep merupakan hasil pemikiran manusia atau rekayasa manusia, dibentuk
oleh masyarakat sehingga bersifat dinamis dapat berbeda karena perbedaan adat
istiadat, budaya, agama, sitem nilai dari bangsa, masyarakat, dan suku bangsa
tertentu. Selain itu gender dapat berubah karena perjalanan sejarah, perubahan
politik, ekonomi, sosial dam budaya, atau karena kemajuan pembangunan. Dengan
demikian gender tidak bersifat universal dan tidak berlaku secara umum, akan
tetapi bersifat situasional masyarakatnya.
B.
Problematika Gender dalam Pendidikan
Rendahnya kualitas pendidikan
diakibatkan oleh adanya diskriminasi gender dalam
dunia pendidikan. Ada tiga aspek permasalahan gender dalam pendidikan
yaitu:
1. Akses
Yang dimaksud dengan aspek
akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit dicapai. Misalnya, banyak
sekolah dasar di tiap-tiap kecamatan namun untuk jenjang pendidikan selanjutnya
seperti SMP dan SMA tidak banyak. Tidak setiap wilayah memiliki sekolah tingkat
SMP dan seterusnya, hingga banyak siswa yang harus menempuh perjalanan jauh
untuk mencapainya. Di lingkungan masyarakat yang masih tradisional, umumnya
orang tua segan mengirimkan anak perempuannya ke sekolah yang jauh karena
mengkhawatirkan kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu banyak anak perempuan yang
‘terpaksa’ tinggal di rumah. Belum lagi beban tugas rumah tangga yang banyak
dibebankan pada anak perempuan membuat mereka sulit meninggalkan rumah.
Akumulasi dari faktor-faktor ini membuat anak perempuan banyak yang cepat
meninggalkan bangku sekolah.
2. Partisipasi
aspek partisipasi dimana tercakup di dalamnya
faktor bidang studi dan statistik pendidikan. Dalam masyarakat kita di
Indonesia, dimana terdapat sejumlah nilai budaya tradisional yang meletakkan
tugas utama perempuan di arena domestik, seringkali anak perempuan agak
terhambat untuk memperoleh kesempatan yang luas untuk menjalani pendidikan formal.
Sudah sering dikeluhkan bahwa jika sumber-sumber pendanaan keluarga terbatas,
maka yang harus didahulukan untuk sekolah adalah anak laki-laki. Hal ini
umumnya dikaitkan dengan tugas pria kelak apabila sudah dewasa dan
berumah-tangga, yaitu bahwa ia harus menjadi kepala rumah tangga dan pencari
nafkah.
3. Manfaat dan
penguasaan
Kenyataan banyaknya angka buta huruf
di Indonesia di dominasi oleh kaum perempuan..Data
BPS tahun 2003, menunjukkan dari jumlah penduduk buta aksara usia 10tahun ke
atas sebanyak 15.686.161 orang, 10.643.823 orang di antaranya atau 67,85persen
adalah perempuan
Pendidikan tidak hanya sekedar proses pembelajaran,
tetapi merupakan salah satu ”nara sumber” bagi segala pengetahuan
karenanya ia instrumen efektif transfer nilai termasuk nilai yang berkaitan
dengan isu gender. Dengan demikian pendidikan juga sarana sosialisasi
kebudayaan yang berlangsung secara formal termasuk di sekolah.
Perilaku yang tampak dalam
kehidupan dalam kehidupan sekolah interaksi guru-guru, guru-murid, dan
murid-murid, baik di dalam maupun luar kelas pada saat pelajaran berlangsung
maupun saat istirahat akan menampakkan konstruksi gender yang terbangun selama
ini. Selain itu penataan tempat duduk murid, penataan barisan, pelaksanaan
upacara tidak terlepas dari hal tersebut. Siswa laki-laki selalu ditempatkan
dalam posisi yang lebih menentukan, misalnya memimpin organisasi siswa, ketua
kelas, diskusi kelompok, ataupun dalam penentuan kesempatan bertanya dan
mengemukakan pendapat. Hal ini menunjukkan kesenjangan gender muncul dalam
proses pembelajaran di sekolah.
Menurut Idris semakin rendah tingkat
pendidikan semakin besar kesenjangan gender dalam pengupahan. Bahkan dari angka
statistik menunjukkan perbandingan upah laki-laki adalah 60,46% dan 39,54%,
dimana kesenjangan gender dalam pengupahan untuk pendiidkan rendah 65, 68%
untuk laki-laki dan 35, 32 % untuk perempuan.
C.
Pendidikan
memandang Gender
Dalam deklarasai Hak-hak asasi
manusia pasal 26 dinyatakan bahwa :” Setiap orang berhak mendapatkan
pengajaran… Pengajaran harus mempertinggi rasa saling mengerti, saling menerima
serta rasa persahabatan antar semua bangsa, golongan-golongan kebangsaan, serta
harus memajukkan kegiatan PBB dalam memelihara perdamaian dunia … “.
Terkait dengan deklarasi di atas,
sesungguhnya pendidikan bukan hanya dianggap dan dinyatakan sebagai sebuah
unsur utama dalam upaya pencerdasan bangsa melainkan juga sebagai produk atau
konstruksi sosial, maka dengan demikian pendidikan juga memiliki andil bagi
terbentuknya relasi gender di masyarakat.
Pendidikan memang harus menyentuh
kebutuhan dan relavan dengan tuntutan zaman, yaitu kualitas yang memiliki
kaimanan dan hidup dalam ketakwaan yang kokoh, mengenali, menghayati, dan
menerapkan akar budaya bangsa, berwawasan luas dan komprehensif, menguasai ilmu
pengetahuan, dan keterampilan mutakhir, mampu mengantisipasi arah perkembangan,
berpikir secara analitik, terbuka pada hal-hal baru, mandiri, selektif,
mempunyai kepedulian sosial yang tinggi, dan bisa meningkatkan prestasi.
Perempuan dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualifikasi
tersebut sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya.
Departemen Pendidikan Nasional
berupaya menjawab isu tersebut melalui perubahan kurikulum dan rupanya telah
terakomodasi dalam kurikulum 2004 tinggal bagaimana
mengaplikasikannya dalam bahan ajar terutama isu gender meskipun pada
kenyataannya masih membawa dampak bias gender dalam masyarakat yang berakibat
pada kurang optimalnya sumber daya manusia yang optimal yang unggul disegala
bidang tanpa memandang jenis kelamin.
Dengan demikian, pendidikan
seharusnya memberi mata pelajaran yang sesuai dengan bakat minat setiap
individu perempuan, bukan hanya diarahkan pada pendidikan agama dan ekonomi
rumah tangga, melainkan juga masalah pertanian dan ketrampilan lain. Pendidikan
dan bantuan terhadap perempuan dalam semua bidang tersebut akan menjadikan
nilai yang amat besar dan merupakan langkah awal untuk memperjuangkan persamaan
sesungguhnya.
D.
Membangun Pendidikan Berperspektif Gender di Sekolah
Jika sekolah memilih jalan untuk
tidak sekadar menjadi pengawet atau penyangga nilai-nilai, tetapi penyeru
pikiran-pikiran yang produktif dengan berkolaborasi dengan kebutuhan jaman,
maka menjadi salah satu tugas sekolah untuk tidak membiarkan berlangsungnya ketidakadilan
gender yang selama ini terbungkus rapi dalam kesadaran-kesadaran palsu yang
berkembang dalam masyarakat. Sebaliknya ia harus bersikap kritis dan mengajak
masyarakat sekolah dan masyarakat di sekitarnya untuk mengubah/membongkar
kepalsuan-kepalsuan tersebut sekaligus mentransformasikannya menjadi
praktik-praktik yang lebih berpihak kepadakeadilan sesama, terutama keadilan
bagi kaum perempuan.
1.
Analisis Gender di Lembaga Sekolah
Untuk melakukan perubahan dalam
suatu institusi pendidikan, kita tidak bisa melangkah berdasarkan asumsi-asumsi
belaka, tetapi seyogyanya berdasarkan data-data yang lebih konkrit yang didapat
dari pengamatan, penelitian dianalisis kiritis terhadap lembaga sekolah.
Data-data inilah yang kemudian akan dijadikan patokan untuk melangkah dan
mengambil keputusan-keputusan strategis dalam melakukan perubahan-perubahan
yang dibutuhkan. Pengamatan itu hendaknya diarahkan pada elemen-elemen yang
biasanya tergenderkan dalam sebuah organisasi atau lembaga seperti misalnya:
ideologi-ideologi dan tujuan-tujuannya, sistem nilai yang dikembangkannya,
struktur-struktur yang dibangun, gaya manajemennya, pembagian tugas/pekerjaan,
pengaturan/tata ruang kantornya, ungkapan-ungkapan,hubungan kekuasaaan,
lambang-lambang yang digunakan, yang semua itu dapat memberi sinyal sejauh mana
lembaga sekolah tergenderkan.
2.
Guru/Pendidik sebagai Pilar
Guru harus diupayakan mendapatkan
akses terhadap dasar-dasar pengetahuan dan pendidikan gender terlebih dahulu,
untuk membukakan pikiran dan nurani akan adanya persoalan tersebut. Jika
guru/pendidik sudah mendapatkan akses yang cukup terhadap pengetahuan gender,
maka komitmen yang sangat penting untuk dijadikan landasan membangun pendidikan
gender akan jauh lebih mudah dicapai.
Apabila guru memiliki sensitivitas gender maka akan
memiliki itikat untuk menciptakan keadilan dan kesetaraan gender dengan
sendirinya, melalui proses pembelajaran di kelas, dalam pembuatan soal dan
dalam perlakuan di kelas.
3.
Metode dan Materi Pembelajaran
Seperti diketahui metode
pembelajaran yang pada umumnya dilakukan oleh sekolah adalah metode
pembelajaran yang lebih menekankan transmisi keilmuan klasik, yang memungkinkan
adanya penerimaan imu secara bulat (taken forgranted) yang tak
terbantahkan, yang memberi ruang gerak yang sempit bagiadanya dialog dan
diskusi kritis. Sementara itu, persoalan gender sarat dengan
problematik-problematik kultural yang sulit diselesaikan tanpa adanya dialog
dan diskusi-diskusi. Metode pembelajaran ini, jika diterapkan apa adanya, jelas
tidak akan membuahkan hasil yang baik. Oleh sebab itu harus diupayakan
kesempatan untuk terjadinya dialog dan diskusi-diskusi, agar konsep-konsep
penting pendidikan gender dapat lebih mudah tercerap oleh para siswa.
4.
Bahasa bukan Persoalan Sepele
Bahasa merupakan unsur yang sangat
penting dalam pendidikan peka gender, karena di dalam bahasa, lewat pilihan
kata, tekanan-tekanan, konstruksi kalimat atau ujaran yang digunakan dalam
komunikasi baik tertulis maupun lisan. Bahasa yang dimaksud juga tidak terbatas
pada bahasa verbal tetapi termasuk bahasa non verbal, bahasa tubuh seperti cara
bersalaman, memberi penghormatan, memandang atau mengerling menyiratkan makna
yang mengandung muatan gender. Menyepelekan peran bahasa dalam pendidikan peka
gender sama dengan mengabaikan unsur penting dalam pendidikan.
E.
Menuju Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Usaha untuk menghentikan bias
gender terhadap seluruh aspek kehidupan antara lain dengan cara pemenuhan
kebutuhan praktis gender (pratical genderneeds). Kebutuhan ini bersifat jangka
pendek dan mudah dikenali hasilnya. Namun usaha untuk melakukan pembongkaran
bias gender harus dilakukan mulai dari rumah tangga dan pribadi masing-masing
hingga sampai pada kebijakan pemerintah dan negara, tafsir agama bahkan
epistimologi ilmu pengetahuan.
Adapaun strategi utama menuju kesetaraan gender
dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
1.
Penyediaan akses
pendidikan yang bermutu terutama pendidikan dasar secara merata bagi anak
laki-laki dan perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun pendidikan
luar sekolah;
2.
Penyediaan akses
pendidikan kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat mengikuti
pendidikan persekolahan;
3.
Peningkatan
penyediaan pelayanan pendidikan keaksaraan bagi penduduk dewasa terutama
perempuan
4.
Peningkatan koordinasi, informasi dan edukasi dalam
rangka mengurusutamakan pendidikan berwawasan gender; dan
5.
Pengembangan
kelembagaan institusi pendidikan baik di tingkat pusat maupun daerah mengenai
pendidikan berwawasan gender.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Budaya bias laki-laki membentuk perempuan
cenderug nrimo, karenanya upaya sistematis dan berkelanjutan
tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam pendidikan menjadi semakin
mendesak, akses pendidikan perempuan dan laki-laki harus mendapatkan kesempatan
yang sama. Anak perempuan, sebaimana anak laki-laki harus mempunyai hak atau
kesempatan untuk sekolah lebih tinggi.
Gender di era global berkaitan dengan kesadaran,
tanggung jawab laki-laki, pemberdayaan perempuan, hak-hak perempuan termasuk
hak dalam pendidikan. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menghubungkan
semua konsep gender untuk tujuan kesehatan dan kesejahteraan bersama. Pendirian gender perlu
diterjemahkan dalam aksi nyata berupa gerakan pembebasan yang bertanggung
jawab. Mendorong laki-laki dan perempuan untuk merubah tradisi pencerahan,
yaitu sikap yang didasarkan pada akal, alam, manusia, agar diperoleh persamaan,
kebebasan dan kemajuan bersama, tanpa membedakanjenis kelamin.
B.
Saran
Penulis menyarankan
agar seorang bidan dapat menerapkan proses konseling yang ditandainya dengan
adanya kerja sama antara bidan selaku konselor dengan klien dalam mencari
tahu tentang masalah yang dihadapi klien serta bidan tersebut pula bisa
memberikan solusi dan membantu dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.
DAFTAR PUSTAKA
Acee Suryadi, Aceep Idris. 2004. Kesetaraan
Gender dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: PT Genesindo
Achmad Muthia’in. 2001. Bias Gender dalam
Pendidikan. Surakarta: UMS.
Dwi Narwoko dan Bagong Yuryanto. 2004. Sosiologi
Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Elfi Muawanah. 2009. Pendidikan Gender dan
Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: TERAS
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Edisi
Revisi. Universitas Indonesia Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi.
2004
Moh, Roqib. 2003. Pendidikan Perempuan. Yogyakarta:
Gama Media
Siswanto, Bias Gender dalam
Pendidikan,